Hermeneutika,
yang dalam bahasa Inggrisnya adalah hermeneutics, berasal dari kata
Yunani hermeneune dan hermeneia yang masing-masing berarti
“menafsirkan” dan “penafsiran”.[1] Istilah hermeneutika pertama kali ditemui
dalam karya Plato (429-347 SM), Politikos, Epinomis, Definitione, dan Timeus.
Lebih dari itu, sebagai sebuah terminologi, hermeneutika juga bermuatan
pandangan hidup (worldview) dari para penggagasnya. Sehingga bisa
dikatakan bahwa hermeneutika tidak bebas nilai. Istilah ini bukan merupakan
sebuah istilah yang netral.[2]Definisi Hermenetika
Semula
hermenutika berkembang di kalangan gereja dan dikenal sebagai gerakan eksegesis
(penafsiran teks-teks agama) dan kemudian berkembang menjadi “filsafat
penafsiran” kehidupan sosial.[3] Kemunculan
hermeneutika dipicu oleh persoalan-persoalan yang terjadi dalam penafsiran
Bible. Awalnya bermula saat para reformis menolak otoritas penafsiran Bible
yang berada dalam genggaman gereja. Menurut Martin Luther (1483-1546 M), bukan
gereja dan bukan Paus yang dapat menentukan makna kitab suci, tetapi kitab suci
sendiri yang menjadi satu-satunya sumber final bagi kaum Kristen. Menurut
Martin Luther , Bible harus menjadi penafsir bagi Bible itu sendiri. Dia
menyatakan, “This means that [Scripture] itself by itself is the most
unequivocal, the most accessible [facilima], the most testing, judging, and
illuminating all things,…”[4] Pernyataan
tegas Martin Luther yang menggugat otoritas gereja dalam memonopoli penafsiran
Bible, berkembang luas dan menjadi sebuah prinsip Sola Scriptura (cukup
kitab suci saja, tak perlu ‘tradisi’).[5] Berdasarkan prinsip Sola Scriptura, dibangunlah
metode penafsiran bernama hermeneutika. Definisi Hermenetika
Seorang
Protestan, F.D.E. Schleiermacherlah yang bertanggung jawab membawa hermeneutika
dari ruang biblical studies (biblische Hermeneutik) atau teknik
interpretasi kitab suci ke ruang lingkup filsafat (hermenutika umum), sehingga
apa saja yang berbentuk teks bisa menjadi objek hermeneutika.[6] Bagi Schleiermacher, tidak ada perbedaan
antara tradisi hermeneutika filologis yang berkutat dengan teks-teks dari
Yunani-Romawi dan hermeneutika teologis yang berkutat dengan teks-teks kitab
suci.[7] Dalam sebuah
tesis Ph.D. dinyatakan bahwa :Definisi Hermenetika
Originally,
the term ‘Hermeneutics’ was employed in reference to the field of study
concerned with developing rules and methods that can guide biblical exegesis.
During the early years of the nineteenth century, ‘Hermeneutics’ became
‘General Hermenenutics’ at the bands of philosopher and Protestant theologian
Friederich Schleiermacher. Schleiermacher transformed Hermeneutics into a
philosophical field of study by elevating it from the confines of narrow
specialization as a theological field to the higher ground of general
philosophical concerns about language and its understanding.[8]
Oleh karena transformasi yang
dilakukan olehnya, maka Schleiermacher dianggap sebagai bapak hermeneutika
modern (the father of modern hermeneutics). Definisi Hermenetika
Schleiermacher
bukan hanya meneruskan usaha para pendahulunya semisal Semler dan Ernesti yang
berupaya “membebaskan tafsir dari dogma”.[9] Lebih dari itu, ia juga mengajukan
perlunya melakukan desakralisasi teks. Dalam perspektif hermeneutika umum ini,
“semua teks harus diperlakukan sama, “tidak ada yang perlu diistimewakan, tak
peduli apakah itu kitab suci (Bible) ataupun teks hasil karangan manusia biasa.[10]
The
New Encyclopedia Brittanica menulis, bahwa
hermeneutika adalah studi prinsip-prinsip general tentang interpretasi Bible (the
study of general principle of biblical interpretation). Tujuan dari
hermeneutika adalah untuk menemukan kebenaran dan nilai-nilai dalam Bible.[11]
Menurut Adian
Husaini, hermeneutika bukan sekedar tafsir, melainkan satu “metode tafsir”
tersendiri atau satu filsafat tentang penafsiran, yang bisa sangat berbeda
dengan metode tafsir Al-Quran. Di kalangan Kristen, saat ini, penggunaan
hermeneutika dalam interpretasi Bible sudah sangat lazim, meskipun juga
menimbulkan perdebatan (Husaini, 2007 : 8). Dari definisi di atas jelas, bahwa
penggunaan hermeneutika dalam penafsiran Al-Qur’an memang tidak terlepas dari
tradisi Kristen. Celakanya, tradisi ini digunakan oleh para hermeneut
(pengaplikasi hermeneutika untuk Al-Qur’an) untuk melakukan dekonstruksi[12] terhadap
al-Qur’an dan metode penafsirannya.
Secara
epistemis, terbukti bahwa kelahiran tafsir hermeneutika tidak bisa dilepaskan
dari sejarah Yahudi dan Kristen, ketika mereka dihadapkan pada pemalsuan kitab
suci, dan monopoli penafsiran kitab suci oleh gereja. Bahkan yang menjadi
pemicu pemisahan agama kristen menjadi dua aliran, protestan dan katholik
adalah sebab perbedaan penafsiran Bible yang menggunakan metode hermeneutika.
Salah seorang
yang pertama kali memperkenalkan hermeneutika dalam penafsiran Alquran adalah
Nasr Hamid Abu Zayd (hermeneutika sastra kritis) yang kemudian menyeru kepada
umat Islam agar menafsirkan ulang Alquran agar sesuai dengan tuntutan zaman,
akhirnya dia kemudian memperkenalkan hermeneutika, tapi sayangnya penafsiran
yang ia bawa dinilai menyimpang dan tidak sesuai dengan ajaran Islam, bahkan
oleh sebahagian ulama ia dianggap kafir.
Setelah itu
banyak lagi tokoh-tokoh yang mengikuti jejak langkah beliau, sebut saja Hassan
Hanafi (hermeneutika-fenomenologi), Mohammad Arkoun (hermeneutika-antropologi nalar
Islam), Fazlur Rahman (hermeneutika double movement), Fatima Mernissi, Riffat
Hassan, Amina A. Wadud (hermeneutika gender), Muhammad Syahrur (hermeneutika
linguistik fiqih perempuan).
[1]
Prof.Dr.H.Mudjia Raharjo,M.Si., Dasar-Dasar
Hermeneutika : Antara Intensionalisme & Gadamerian (Yogyakarta : Ar-Ruzzmedia, 2008), hal
27.
[2]Hamid Fahmi Zarkasyi,MA, Menguak Nilai di Balik Hermeneutika, (Jurnal ISLAMIA, Tahun 1 Volume 1 Muharram 1425 H), hal 16.
[3]
Prof.Dr.H.Mudjia Raharjo,M.Si., Dasar-Dasar
Hermeneutika : Antara Intensionalisme & Gadamerian (Yogyakarta : Ar-Ruzzmedia, 2008), hal
30.
[4]
Werner Georg Kummel, The New
Testament : The History of the Investigation of Its Problems, Penerjemah S.McLean Gilmour dan Howard
C.Kee (New York : Abingdon Press, 1972), 21-22, dikutip dari Adnin Armas, MA, Filsafat
Hermeneutika dan Dampaknya Terhadap Studi al-Qur’an, Bahan-Bahan Mata Kuliah Islamic
Worldview di Program
Pendidikan dan Pemikiran Islam Pasca Sarjana Universitas Muhammadiyah
Surakarta, Editor : Adian Husaini, 2008.
[5]
Werner Georg Kummel, The New
Testament : The History of the Investigation of Its Problems, Penerjemah S.McLean Gilmour dan Howard
C.Kee (New York : Abingdon Press, 1972), 27, dikutip dari Adnin Armas, MA, Filsafat
Hermeneutika dan Dampaknya Terhadap Studi al-Qur’an, Bahan-Bahan Mata Kuliah Islamic
Worldview di Program
Pendidikan dan Pemikiran Islam Pasca Sarjana Universitas Muhammadiyah
Surakarta, Editor : Adian Hisaini, 2008.
[6]
Prof.Dr.H.Mudjia Raharjo,M.Si, Dasar-Dasar
Hermeneutika : Antara Intensionalisme & Gadamerian (Yogyakarta : Ar-Ruzzmedia, 2008), hal
30
[7]
Theodore Plantinga, Historical Understading in the Thought of Wilhelm Dilthey (United Kingdom : Edwin Ellen Press, Ltd., 1992), 103, dikutip
dari Adnin Armas, MA, Filsafat
Hermeneutika dan Dampaknya Terhadap Studi al-Qur’an, Bahan-Bahan Mata Kuliah Islamic Worldview di
Program Pendidikan dan Pemikiran Islam Pasca Sarjana Universitas Muhammadiyah
Surakarta, Editor : Adian Husaini, 2008.
[8]
Aref Ali Nayed, Interpretation
As the Engagement of Operational Artifacts : Operational Hermeneutics (unpublished Ph.D. Thesis, The
University of Guelph, 1994), 3-4, dikuitp dari Dr.Ugi Suharto, Apakah Al-Qur’an
Memerlukan Hermeneutika?, (Jurnal
ISLAMIA, Tahun 1 No.1 Muharram 1425 H, hal 47.
[9]
Johann Salomo Semler, Vorbereitung zur theologischen Hermeneutik, zu weiterer
Beforderung des Fleisses angehender Gottesgelerten (Halle, 1970) dan Johann August Ernesti, Institutio Interpretis Novi Testamenti,
ed. Christoph Friedrich von Ammon
(Halle, 1809; pertama kali terbit 1761). Cf. Manfred Frank, Das individuelle Allgemeine :
Textstrukturierung und interpretation nach Schleiermacher (Frankfurt am Main : Surkamp, 1977), dikutip dari
Dr.Syamsuddin Arif, Orientalis
& Diabolisme Pemikiran-Bab Hermenutika dan Tafsir Al-Qur’an, (Jakarta : Gema Insani Press, 2008), hal 179.
[12]
Secara etimologis dekonstruksi berarti pembongkaran
dari dalam. Dekonstruksi merupakan alternatif untuk menolak segala keterbatasan
penafsiran ataupun bentuk penafsiran baku. Kris Budiman, Kosakata Semiotika (Yogyakarta, LKiS, 1999), 21, dikutip dari Dr.Ir.Muhammad
Shahrur, Prinsip-Prinsip
Hermeneutika Al-Qur’an Kontemporer, bagian
Pengantar Penerjemah, (Yogyakarta, eLSAQ Press, 2004), hal xvii.
0 Response to "Definisi Hermenetika"
Posting Komentar