Sejarah Timbul dan Perkembangan Mu’tazilah
Terhadap
golongan Mu’tazilah ini, para ulama berbeda pendapat mengenai waktu timbulnya.
Sebagian berpendapat, golongan ini timbul sebagai satu kelompok di kalangan
pengikut Ali. Mereka mengasingkan diri dari masalah politik dan beralih ke
masalah aqidah ketika Hasan Ibn Ali turun dari jabatan khalifah yang
digantikan oleh Muawiyah Ibn Abi Sufyan. Menurut Abu al-Hasan al-Thara’ifi
dalam Ahl al-Ahwa wa al-Bida’, mereka menanamkan diri dengan Mu’tazilah
ketika Hasan Ibn Ali membai’at Muawiyah dan menyerahkan jabatan khalifah
kepadanya. Mereka mengasingkan diri dari Hasan Ibn Ali, Muawiyah, dan semua
orang menetap di rumah-rumah dan mesjid-mesjid serta berkata, “Kami bergelut
dengan ilmu dan ibadah”
.
.
Kebanyakan ulama
berpendapat, golongan ini timbul sebagai akibat Wasil Ibn ‘Atha mengasingkan
diri (i’tazala) dari forum ilmiah Hasan al-Basri. Waktu itu muncul seorang dan
bertanya tentang orang yang berdosa besar. Khawarij memandang mereka itu kafir
sedangkan Murji’ah memandang mereka mu’min. Ketika Hasan al-Basri masih
berfikir, Wasil berkata “Saya berpendapat bahwa orang yang berdosa besar bukan
mu’min dan bukan pula kafir, tetapi mengambil posisi diantara keduanya”. Wasil
kemudian meninggalkan forum Hasan al-Basri dan membentuk forum sendiri di
mesjid yang sama dan menjadi cikal bakal Mu’tazilah. Setelah Wasil memisahkan
diri, Hasan al-Basri berkata, i’tazala’anna Wasil (Wasil menjauhkan diri
dari kita).[5]
Menurut para
penulis kitab-kitab Mu’tazilah, awal munculnya faham itu jauh lebih dahulu dari
kisah Wasil keluar dari forum Hasan al-Basri tersebut. Di antara penganut
madzhab itu banyak yang berasal dari keluarga nabi (Ahlu al-Bait). Hasan
al-Basri termasuk penganut madzhab ini pernah menyatakan pandangan tentang
perbuatan manusia sebagaimana pandangan faham Qa-dariah, pandangan itu
merupakan pandangan mereka juga. Hasan juga mengemukakan pendapat tentang
pelaku dosa besar yang mirip dan tidak bertentangan dengan pendapat mereka. Ia
berpendapat bahwa pelaku dosa besar adalah munafik, kesamaannya ialah bahwa
orang munafik juga kekal dalam neraka dan tidak termasuk ke dalam kelompok
orang beriman. Banyak Ahlu al-Bait yang berpola fikir sama dengan Hasan
al-Basri seperti Zaid Ibn Ali teman dekat Wasil. Wasil sendiri merupakan salah
seorang penyiar faham ini yang menonjol sehingga kebanyakan ulama memandang
beliau sebagai tokoh utamanya.
Dalam menelusuri
asal-usul nama dan proses timbulnya Mu’tazilah begitu sulit karena belum ada
kata sepakat di antara para ahli. Namun, menurut Harun Nasution, nama
Mu’tazilah sebagai designatie bagi aliran teologi rasional dan liberal
dalam Islam timbul sesudah peristiwa Wasil Ibn ‘Atha dengan Hasan al-Basri di
Basrah dan bahwa lama sebelum terjadinya peristiwa Basrah itu telah terdapat
kata-kata i’tazaala, al-Mu’tazilah. Hubungan antara Mu’tazilah pertama
dan Mu’tazilah kedua pun belum ada fakta-fakta yang memberikan kepastian.
Adapun pemberi nama Mu’tazilah adalah mereka sendiri minimal mereka setuju
dengan kata itu. Al-Qadi ‘Abd al-Jabbar mengatakan bahwa kata-kata i’tazala
yang terdapat dalam al-Quran mengandung arti menjauhi yang salah dan tidak
benar sehingga kata Mu’tazilah berarti pujian. Al-Qadi pun menerangkan hadits
nabi yang mengatakan bahwa umat Islam akan terpecah menjadi 73 golongan dan
yang paling patuh dan terbaik dari seluruhnya ialah Mu’tazilah. Menurut Ibn
al-Murtad, kaum Mu’tazilah sendirilah dan bukan orang lain yang memberikan nama
itu kepada golongan mereka. Mereka tidak memandang nama Mu’tazilah sebagai nama
ejekan.
Aliran ini pada
awal perkembangannya tidak mendapat simpati umat Islam, khususnya di kalangan
masyarakat awam karena mereka sulit memahami ajaran-ajaran Mu’tazilah yang
bersifat rasional dan filosofis. Selain itu, kaum Mu’tazilah dinilai tidak
teguh berpegang pada sunnah Rosulullah SAW dan para sahabat. Baru pada masa
al-Ma’mun (Khalifah Abbasiyah periode 198-218 H/813-833 M), golongn ini
memperoleh dukungan luas teruatama di kalangan intelektual. Selanjutnya,
kedudukan Mu’tazilah semakin kokoh setelah dijadikan madzhab resmi negara oleh
al-Ma’mun (anaknya Harun al-Rasyid), disebabkan sejak kecil ia dididik dalam
tradisi Yunani yang gemar akan ilmu pengetahuan dan filsafat.
Sebagai golongan
yang mendapat dukungan penguasa, Mu’tazilah mengalami masa kejayaan. Namun,
disaat puncak kejayaan itu kaum Mu’tazilah memaksakan ajarannya kepada kelompok
lain yang terkenal dalam sejarah dengan peristiwa Mihnah (inquistion).
Peritiwa itu timbul dikarenakan faham Khalq al-Quran, dimana kaum
Mu’tazilah berpendapat bahwa al-Quran adalah kalam Allah SWT yang tersusun dari
suara dan huruf-huruf. Al-Quran itu makhluk, dalam arti diciptakan Tuhan.
Karena diciptakan berarti al-Quran sesuatu yang baru, jadi tidak qadim. Jika
al-Quran dikatakan qadim maka akan timbul kesimpulan bahwa ada yang qadim
selain Allah SWT dan ini musyrik hukumnya.
Peristiwa yang
menggoncangkan umat Islam itu akhirnya berakhir setelah al-Mutawakkil menjadi
khalifah (periode 232-247 H/847-861 M) menggantikan al-Wasiq (periode 228-232
H/842-847 M). Dominasi aliran Mu’tazilah menurun dan masyarakat semakin tidak
bersimpatik sehingga al-Mutawakkil membatalkan Mu’tazilah sebagai madzhab resmi
negara dan menggantikannya dengan aliran Asy’ariyah. Selanjutnya, kaum
Mu’tazilah muncul lagi pada masa Dinasti Buwaihi, namun kembali lagi pada
Asy’ariah ketika Bani Saljuk mengambil alih kekuasaan, terutama sejak
pemerintahan Alp Arselan dengan Nizam al-Mulk sebagai perdana menterinya.
Hingga berabad-abad kemudian, Mu’tazilah tersisih dari panggung sejarah,
tergeser oleh aliran Ahlu Sunnah wal Jama’ah.
Walaupun
demikian, di zaman modern dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknik sekarang,
ajaran-ajaran kaum Mu’tazilah yang bersifat personal itu lelah mulai timbul
kembali dikalangan umat Islam terutama dikalangan kaum terpelajar. Secara tidak
sadar mereka telah mempunyai paham-paham yang sama atau dekat dengan
ajaran-ajaran Mu’tazilah. Mempunyai paham-paham yang demikian tidaklah membuat
mereka keluar dari Islam.[6]
F. Beberapa Versi Tentang Nama Mu’tazilah
Secara teknis Mu’tazilah menunjuk pada dua golongan yaitu golongan pertama
(Mu’tazilah I ), dan golongan kedua (Mu’tazilah II)
6.
Golongan Pertama
Muncul sebagai respon politik murni. Golongan ini tumbuh sebagai kaum
netral polotik, khususnya dalam arti bersikap lunak dalam menangani
pertentangan antara Ali bin Abi Thalib dan lawan-lawanya, terutama Muawiyah,
Aisyah dan Abdullah bin Zubair. Dan golongan inilah yang mula-mula di sebut
kaum Mu’tazilah karena mereka menjauhkan diri dari pertikaian masalah khilafah,
dan kelompok ini bersifat netral polotik tanpa stigma teologis seperti yang ada
pada kaum Mu’tazilah yang tumbuh di kemudian hari.[7]
7.
Golongan Kedua
Muncul sebagai respon persoalan teologis yang berkembang dikalangan
Khawarij dan Murji’ah akibat adanya peristiwa Tahkim. Golongan ini muncul
karena mereka berbeda pendapat dengan golongan khawarij dan Murji’ah tentang
pemberian status kafir kepada orang yg berbuat dosa besar. Dan golongan inilah
yang akan di kaji dalam makalah ini.[8]
Menurut Al- Syahrastani, kata Mu’tazilah muncul sebagai akibat Wasil Ibn ‘Atha mengasingkan diri (i’tazala) dari forum
ilmiah Hasan al-Basri. Waktu itu muncul seorang dan bertanya tentang orang yang
berdosa besar. Khawarij memandang mereka itu kafir sedangkan Murji’ah memandang
mereka mu’min. Ketika Hasan al-Basri masih berfikir, Wasil berkata “Saya berpendapat
bahwa orang yang berdosa besar bukan mu’min dan bukan pula kafir, tetapi
mengambil posisi diantara keduanya”. Wasil kemudian meninggalkan forum Hasan
al-Basri dan membentuk forum sendiri di mesjid yang sama dan menjadi cikal
bakal Mu’tazilah. Setelah Wasil memisahkan diri, Hasan al-Basri berkata, i’tazala’anna
Wasil (Wasil menjauhkan diri dari kita).[9]
Menurut Al-Baghdadi,
Wassil dan temanya ‘Amr Ibn ‘Ubaid Ibn Bab di usir oleh Hasan Al-Basri dari
majlisnyakarena adanya pertikaian antara mereka mengenahi persoalan qadar dan
orang yang berdosa besar, keduanya menjauhkan diri dari Hasan Al-Basri dan
mereka serta pengikut-pengikutnya di sebut Mu’tazilah karena mereka menjauhkan
diri dari faham umat islam tentang soal orang yang berdosa besar. Menurut mereka orang serupa ini tidak mukmin dan
pula tidak kafir. Demikian keterangan Al-Baghdadi tentang pemberian nama
Mu’tazilah kepada golongan ini.[10]
Adapun versi lain yang diberikan oleh Tasy Kubra Zadah, menyebut bahwa
Qatadah Ibn Da’amah pada suatu hari masuk ke masjid Basrah dan menuju ke majlis
‘Amr ibn ‘Ubaid yang disangkanya adalah majlis Hasan Al-Basri, setelah baginya
bahwa itu bukan majlis Hasan Al-Basri ia berdiri dan meninggalkan tempat itu,
sambil berkata: “ini kaum Mu’tazilah”. Semenjak itu kata Tasy Kubra Zadah,
mereka di sebut kaum Mu’tazilah.[11]
Adapun Al-Mas’udi memberikan keterangan tentang asal usul kemunculan
Mu’tazilah tanpa menyangkut pautkanya dengan peristiwa antara Wasil dan Hasan
Al-Basri. Mereka di beri nama Mu’tazilah katanya, karena berpendapat bahwa
orang yang berbuat dosa bukanlah mukmin dan bukan pula kafir, tetapi menduduki
tempat diantara kafir dan mukmin (Al-Manzilah Baina al-Manzilatain).[12]
Dalam artian mereka memberi status orang yang berbuat dosa besar itu jauh dari
golongan mukmin dan kafir.[13]
Teori baru, yang dikemukakan oleh Ahmad Amin, menerangkan bahwa nama
Mu’tazilah sudah terdapat sebelumm adanya peristiwa Wasil dan Hasan Al-Bisri
dan sebelum timbulnya pendapat tentang posisi diantara dua posisi. Nama
Mu’tazilah di berikan kepada golongan orang yang tidak mau berintervensi dalam
pertikaian politik yang terjadi pada zaman Utsman bin Affan dan Ali bin Abi
Thalib. Ia menjumpai pertikaian disana: satu golongan mengikuti pertikaian itu,
sedangkan golongan lain menjauhkan diri ke Kharbita (I’ tazalat ila kharbita).
Oleh karena itu, dalam surat yang dikirimnya kepada Ali bin Abi Thalib, Qois
menamai golongan yang menjauhkan diri dengan Mu’taziliin, sedang Abu
Al-Fida menamainya dengan Mu’tazilah.[14]
Dengan demikian, kata I’tazala dan Mu’tazilah lebih dipakai
kira-kira seratus tahun sebelum peristiwa Wasil dengan Hasan Al-Basri, yang
mengandung arti golongan yang tidak mau ikut campur dalam pertikaian politik
yang terjadi pada zamanya.[15]
C.A. Nallino, seorang
Orientalist Itali mempunyai pendapat yang hampir sama dengan Ahmad Amin.
Berdasarkan pada versi Mas’udi tersebut sebelumnya, ia berpendapat bahwa nama
Mu’tazilah sebenarnya tidak mengandung arti “memisahkan diri dari umat Islam
lainnya,” sebagai yang terkandung dalam versi yang diberikan al-Syahrastani,
al-Baghdadi dan Tasy Kubra Zadah. Nama Mu’tazilah diberikan kepada mereka karena mereka berdiri netral
diantara Khawarij dan Murji’ah. Oleh karena itu, golongan Mu’tazilah II ini
mempunyai hubungan yang erat dengan Mu’tazilah I.[16]
Pendapat ini dibantah oleh Ali Sami An-Nasysyar yang mengatakan bahwa golongan
Mu’tazilah II timbul dari orang-orang yang mengasingkan diri untuk ilmu
pengetahuan dan ibadah, bukan dari golongan Mu’tazilah I yang disebut kaum
netral politik.[17]
Golongan Mu’tazilah di kenal juga dengan nama-nama lain seperti ahl
al-adl yang berarti golongan yang mempertahankan keadilan Tuhan dan ahl
al-tauhid wa al-adl yang berarti golongan yang mempertahankan keEsaan murni
dan keadilan Tuhan.[18]
Lawan Mu’tazilah memberi nama golongan ini dengan Al-Qadariyah karena mereka
menganut faham free will and free act, yakni bahwa manusia itu bebas
berkehendak dan bebas berbuat. Selain itu, mereka menamainya juga Al-Mu’athilah,
karena mereka berpendapat bahwa tuhan tidak mempunyai sifat, dalam artian sifat
mempunyai wujud diluar dzat Tuhan. Mereka juga menamainya dengan Wa’diah
karena mereka berpendapat bahwa ancaman Tuhan itu pasti akan menimpa
orang-orang yang tidak taat akan hukum-hukun Tuhan.[19]
Selain dengan nama
Mu’tazilah golongan ini juga dikenal dengan nama-nama lain. Mereka sendiri
menyebut golongan mereka sebagai Ahl al-Adl dalam arti golongan yang
mempertahankan keadilan Tuhan, dan juga ahli al-Tauhid wa al-‘Adl,golongan yang
mempertahankan Keesaan murni dan keadilan Tuhan. Lawan mereka memakai nadengan ma-nama
seperti al-Qdariah, karena mereka,menganut paham free will
dan free act, al-Muattillah, karena mereka berpendapat bahwa Tuhan
tidak mempunyai sifat dalam arti sifat mempunyai wujud di luar zat Tuhan; dan
wa’idiah karena mereka terdapat bahwa ancaman-ancaman Tuhan terdapat
orang-orang yang tidak patuh, pasti dan tidak boleh tidak akan menimpa dari
diri mereka.
Dari uraian-uraian di
atas dapat diketahui ‘athilabahwa orang yang pertama membina aliran
Mu’tazilah adalah; Wasil Ibn Ata’. Sebagai dikatakan al-Mas’udi, ia adalah ,
Syaikh al-Mu’tazilah wa qadimuha, yaitu kepala dan Mu’tazilah yang tertua. Ia
lahir tahun 81H di Madinah dan meninggal tahun 131H.[20] sambungannya dihal berikutnya
0 Response to "Sejarah mu'tazilah"
Posting Komentar