Hermeneutika, adalah sebagai sebuah metode dalam penafsiran, yang tidak hanya memandang teks saja , akan tetapi hal yang tidak dapat ditinggalkannya adalah juga berusaha mendalami kandungan makna literalnya. Lebih jauh dari itu, ia berusaha menggali makna dengan mempertimbangkan horizon-horizon yang meliputi teks tersebut, baik membatasi pengarang, atupun membatasi pembaca, dan batasan teks itu sendiri. Dengan ungkapan lain, adalah metode penafsiran hermeneutika memperhatikan tiga hal sebagai bagian pokok dalam kegiatan penafsiran, yaitu teks, dan konteks, seta kontektualisasi
Menurut pendapat Nashr Hamid Abu Zayd di dalam bukunya, 'Hermeneutika Inklusif, problema paling dasar yang diselidiki hermeneutika ialah masalah penafsiran teks secara umum, baik berbentuk teks historis ataupun teks keagamaan. Oleh karena itu, yang hendak dipecahkan merupakan persoalan yang lumayan banyak dan kompleks yang terjalin di seputar watak dasar teks serta hubungannya dengan al-turats pada satu sisi, juga hubungan teks pada sisi lain. Yang paling penting di antara sekian banyak persoalan di atas adalah bahwa sesungguhnya hermeneutika memfokuskan diri pada hubungan antara mufassir dengan teks. Dia beranggapan bahwa Al-Qur’an itu adalah teks yang berupa bahasa (nasshun lughawiyyun). Peradaban Arab Islam sendiri tidak akan mungkin melupakan sentralisasi teks. Pendapatnya, prinsnya-prinsip dan ilmu-ilmu serta kebudayaan Arab Islam itu tumbuh berkembang dan berdiri di atas teks. Namun demikian, teks tidak akan bisa berbuat apa-apa jikalau tidak ada campur tangan manusia. Artinya, bahwa teks tidak akan bisa mengembangkan peradaban serta keilmuan Arab Islam jika tidak menerima sentuhan dari pemikiran manusia. Dalam pandangan itu, dengan ungkapan lain agama sebagai teks tidak akan berguna apabila keberadaanya itu tidak dipikirkan manusia. Oleh Karenanya,dia berkata bahwa perkembangan Islam itu sangat berkaitan kepada relasi dialektis antara manusia dengan dimensi realitasnya pada satu sisi, dan juga teks pada sisi yang lainnya. Di sini jelas dapat terlihat Nashr Hamid Abu Zayd beranggapan bahwa Islam beserta Al-Qur’an masih harus terus didialektikkan dan juga mesti mengikuti perubahan waktu, bukan hanya dalam tataran praktis saja, namun juga dalam tataran konsep, termasuk konsep berkenaan metode tafsir.
Terlebih lagi, Nashr Hamid dan juga penganut hermeneut lain beanggapan Al-Qur’an hanya merupakan produk budaya, bukan sebagai ‘Kalam Allah’ sehingga tidak terlepas dari konteks sosio cultural masyarakat Arab pada saat Al-Qur’an diturunkan (historis kritis). Metode penafsiran oleh Nasr Hamid yang menghilangkan posisi teks Al-Qur’an dari ‘Kalam Allah’ itu dapat dilihat dari kritikannya pada metode tafsir Ahlu Sunnah, dengan menyimpulkan bahwa : (1) Tafsir yang benar berdasarkan Ahlussunnah, dulu sampai sekarang, adalah tafsir yang dilandaskan pada otoritas para ulama terdahulu; (2) Kesalahan yang pokok pada sikap Ahlussunnah, dulu dan juga sekarang, adalah usaha yang menghubungkan “makna teks” serta ‘dalalah’-nya dengan waktu kenabian, serta risalah, dan turunnya wahyu. Ini bukan saja merupakan kesalahan “pemahaman”, tetapi juga merupakan bagian ekspresi dari sikap ideologisnya terhadap realitas – suatu sikap yang berpatokan pada keterbelakangan, antikemajuan serta anti-progresivitas. Oleh karena itu kelompok Ahlussunnah merangkai sumber-sumber utama penafsiran Al-Qur’an pada 4 hal : keterangan Rasulullah, sahabat, tabi’in, dan yang terakhir yaitu tafsir bahasa.
Jadi, pada saat konsep teks Al-Qur’an dibongkar, serta dihilangkan dari posisinya yang merupakan ‘Firman Allah’ maka Al-Qur’an akan dianggap sebagai ‘teks bahasa’ dan ‘produk budaya’ hingga dapat diketahui melalui kajian historisitas, dengan tidak memperhatikan bagaimana Rasul Allah dan para sahabat beliau menerjemahkan atau memperaktekan makna ayat-ayat Al-Qur’an di dalam kehidupan mereka. Dengan pembongkaran Al-Qur’an sebagai ‘Kalam Allah’, maka barulah metode hermeneutika itu kemungkinan dipakai untuk memahami Al-Qur’an. Metode ini memberi kemungkinan penafsiran Al-Qur’an menjadi bias dan disepadankan dengan tuntutan nilai-nilai budaya yang sedang dominan (Barat.Akibatnya, sekarang muncul konsep-konsep seperti : 1) Relativisme Tafsir dan dekonstruksi syari’ah dan juga 2) Menolak otoritas Mufassir.
0 Response to "Tafsir Hermeneutika "
Posting Komentar