Pemahaman Akal serta Wahyu Menurut
kelompik Mu’tazilah
Menurut paham Mu’tazilah, semua pengetahuan bisa didapat melalui perantaraan
akal, kewajiban2 dapat dikenali melalui pemikiran
yang mendalam. Oleh karena itu rasa berterima kasih pada Tuhan sebelum turunnya
wahyu itu wajib. Baik ataupun jahat
wajib diketahui memakai akal, demikian
juga melakukan yang baik dan menghindari yang jelekt adalah wajib.
Dalam kaitan ini al-Huzail
secara tegas meyatakan , bahwasannya sebelum datangnya wahyu, orang sudah
berkewajiban memahami Tuhan, dan jikalau dia
gak berterima kasih kepada Tuhan,
orang yang seperti itu akan mendapat
hukuman. Baik atau jahat menurut
pendiriannya, juga dapat di kenali dengan perantaraan akal oleh karena itu orang mesti melakukan yang
baik, misalnya , berlaku lurus juga adil, dan wajib menghindari yang jahat seperti berkata berdusta & berbuat zalim.
Kelompok al-Murdar bahkan
berpendirian lebih jauh lagi. Menurut pemahaman
mereka, dalam kewajiban untuk mengetahui
Tuhan, termasuk bagian dari kewajiban mengenal
hukum-hukum serta sifat-sifat yang dimilki Tuhan, walaupun wahyu itu belum ada, dan orang yang tidak tahu akan hal itu dan tidak mau berterima kasih kepada Tuhan, maka ia akan
menerima hukuman yang kekal didalam neraka.
Menurut pendapat al-Syahrastani,
kaum Mu’tazilah selaras bahwasannya keharusan mengetahui Tuhan serta berterima
kasih kepada-Nya, kemestian melakukan
hal yang baikserta meninggalkan yang tidak baik dapat dimenegerti oleh akal
pikiran. Menurut pemahaman mereka, sudah menjadi keharusan sebelum mengetahui bahwa
itu wajib, orang mesti terlebih dahulu memahami dzat itu sendiri. jelasnya, sebelum
mengetahui suatu,berterima kasih kepadas Tuhan menjauhi yang jelek dan
melakukan yang bagus orang sudah bisa bersikap kepadanya.
Jikalau kaum Mu’tazilah memiliki pendapat , bahwa ke 4 masalah yang pokok bisa
diketahui dengan akal, apakah fungsi wahyu dalam keempat masalah itu. Untuk memahami hal ini harus ditinjau dari penjelasan dan keterangan para pemukanya
Menurut pendapat Ibnu abi Hasyim, jikalau
untuk mengenal Tuhan beserta sifat-sifat-Nya, wahyu tidak memiliki fungsi
apa-apa,akan tetapi hanya untuk memahami bagaimana cara memuja serta menyembah/beribadah kepada Tuhan, wahyu itu
diperlukan. Menurutnya pendapatnya pula,
akal belum mampu mengetahui keharusan berterima kasih kepada Tuhan, tetapi hanya wahyulah yang menjelaskan kepada manusia cara yang pas bagaimana
menyembah Tuhan.
Berkaitan dgn soal baik dan buruk,
Abdul Jabbar menegaskan , bahwasannya
akal memang tidak bisa mengetahui
seluruh yang baik. Menurut beliau pula,
akal bisa mengetahui kewajiban2 hanya
pada garis besarnya saja, akal tidak
akan bisamengetahui secara riciannya,
baik yang bersangkutan dgn hidup manusia
di akhirat nanti ataupun berkaitan dgn hidup di dunia ini. Keterangan yang sama juga
disampaikan oleh Ibn Hasyim.
Dia kemudian berkata :” Rasul-rasul datang dengan membawa perincian mengenai apa yang telah dikenali oleh akal secara garis besarnya. Seterusnya ia berbicara,
bahwa akal memahami kewajiban menghindari perbuatan2 yang menjurus pada kemelaratan, tetapi ada juga
perbuatan-perbuatan yang tidak dapat dikenali oleh akal apakah akan membawa pada
kebaikan atau sebaliknya. Maka Dalam hal demikian, wahyulah yang bisa menentukan baik buruknya suatu perbuatan.
untuk kaum Mu’tazilah, tidak seluruh yg baik dan tidak semua yang buruk dapat dikenali
oleh akal. Untuk tahu hal itu, akal membutuhkan pertolongan wahyu. Oleh karena itulah, wahyu bisa menyempurnakan pengetahuan akal mengenai baik dan buruk. Oleh karena itu Abdul Jabbar
mengklasifikasikan aktifitas2 kepada :
1.
Manakir ‘aqliyah (perbuatan2 yang dicaci oleh
akal), seperti bertindak tidak adil dan berbuat
berdusta.
2.
Manakir syar’iyah (kelakuan2 yang dicela oleh syariat
/ wahyu), seperti mencuri milik orang, berbuat berzina, serta meminum minuman
keras.
Lalu ia juga membeda-bedakan
kewajiban-kewajiban :
1.
Al-Wajibat al-‘Aqliyah (kewajiban-kewajiban yang bisa dipahami oleh akal), seperti kewajiban
bersukur kepada Tuhan dan kewajiban untuk membayar utang.
2.
Al-Wajibat asy-Syar’iyah (kewajiban-kewajiban yang
dikenali berdasarkan syariat atau wahyu), misalnya mengucapkan dua kalimat
Syahadat dan Shalat.
Kemudian wahyu bagi kelompok Mu’tazilah
memiliki kegunaan untuk memberi
penjelasan mengenai rincianhukuman dan ganjaran yang akan diterima manusia di
akhirat kelak. seperti di ucapkan oleh Abdul Jabbar, akal tidak bisa tahu bahwa
upah untuk suatu perbuatan baik nialinya lebih besar dari upah yang ditetapkan
untuk suatu perbuatan baik yang lain, demikian pula halnya akal tidak mengetahui bahwa hukuman bagi suatu
perbuatan buruk lebih gede daripada hukuman untuk suatu perbuatan jelek yang
lainnya. seluruhnya itu hanya dapat dipahami dengan perantaraan wahyu.
Al-Jubba’I juga berpendirian, bahwa hanya
wahyulah yang menerangkan
perincian balasan dan upah yang akan didapat oleh manusia di Akhirat
nanti.
gunanya wahyu selanjutnya menurut Al-Syahrastani adalah“mengingatkan
gunanya wahyu selanjutnya menurut Al-Syahrastani adalah“mengingatkan
Karena kelalaian mereka manusia akan memperpendek jalan untuk mengetahui
Tuhan. Jadi akal sudah tahu tentang Tuhan dan telah tahu akan kewajiban terhadap
Tuhan, kemudian wahyu turun untuk
mengingatkan manusia kepada kewajiban itu. aKal akan bisa mengenal
Tuhan, tapi melalui jalan yang
sangat panjang dan wahyu akan memendekan jalan yang panjang itu.
Dari tulisan di atas dapat diringkas
,bahwa bagi kaum mu’tazilah memiliki fungsi konfirmasi serta informasi,
artinya meneguhkan apa-apa yang sudah
dipahami akal dan menjelaskan apa-apa
yang belum diketahui akal,dan dengan
demikian itu bahwa wahyu itu akan menyempurnakan
pengetahuan yang sudah didapati akal.
0 Response to "pengertian wahyu dan akal menurut mu'tazilah"
Posting Komentar