selamat membaca semoga bermanfaat

Definisi Mutawatir dari Tinjauan Nahwu


Definisi mutawatir menurut ilmu nahwu
Definisi mutawatir  Ditinajau dari Ilmu Nahwu


Menurut pendapat Imam Pakruddin Arraaji berkata dalam kitabnya Al-mahsul : untuk memahami bahasa serta ilmu nahwu  adalah  fardu kifayah sementara untuk   memahami hukum syara itu merupakan  kewajiban, maka untuk memahami hukum sara’  itu sendiri  tanpa dibarengi dengan  mengetahui ma’na yang terkandung  didalamnya  adalah merupakan  suatu keniscayaan. Untuk itulah  mengetahui ma’na yang terdapat  pada suatu hukum   telah merupakan  keharusan  dan semua itu bisa tercapai dengan  cara merujuk pada dua  sumber yang pokok yaitu Al-Quran dan Al-hadits, Susunan  keduanya  menggunakan bahasa Arab serta perubahan-perubahannya yang ada, untuk  itulah memahami apa yang di maksud oleh suatau hukum dengan  cara memahami ilmu  nahwu dan tasrifnya akan senantiasa  berhubungan yang tidak  terpisahkan dan ini merupakan suatu kewajiban yang harus dilaksanakan oleh setiap Muslim.
            Memaknai  suatu hukum itu bisa diterapakan  dengan cara mempergunaka  Akal pikiran seperti halnya  kebanyakan bahasa pada umumnya  atau juga  bisa  dengan cara  mengkombinasikannya  antara akal beserta nakl (wahyu), seperti contohnya kalimat plural  yang ada alif lam nya  boleh dikecualikan darinya  itu menurut pertimbangan nakl  padahal kita ketahui selama ini   bahwa apabila suatu kalimat memakai  tambahan alif lam menunjukan kekhususan tidak lagi menjadi  umum oleh karena itu susunan  yang ada pada suatu kalimat bisa dimengerti dengan nakl dan akal, bukan hanya dengan akal saja
            Adapun Susunan dalil nakl itu  sendiri bisa berupa mutawatir  ataupun  ahad, setiap dari pembahasan tersebut mempunyai  kesulitan tersendiri, salah satu diantaranya ialah perbedaan pendapat  mengenai  suatu kalimat yang terdapat  pada sunah dimana sangat susah untuk diambil salah satunya seperti misalnya  lafad (الله) sebagian dari mereka berpendapat bahwa lafad tersebut bersumber dari  Ibriyah sedangkan yang lainnya beranggapan bahwa itu berasal dari Suryaniyah, sementara yang berpendapat itu bahasa Arab  berbeda pemahaman  apakah  kalimat itu memiliki akar katanya atau tidak ada , selanjutnya yang mengemukakan  lapad tersebut merupakan pecahan dari kalimat yang lainnya kesusahan  untuk memperlihatkan  keterangan yang valid, namun  perbedaan ini tidak sampai mengakibatkan  lunturnya keyakinan atas  keberadaan Allah. Begitu juga kalimat  Iman, dan kufur, serta shalat maupun  zakat apabila keadaan dari semua  lafad-lafad tersebut merupakan lafad yang sudah masyhur  dan  memang sangat dibutuhkan  maka bagaimana pendapat kalian  mengenai lafad-lafad itu? Untuk  itulah jelas bahwa tuntutan mutawatir dalam  bahasa dan ilmu nahwu  merupakan suatu kesulitan.
            Akan tetapi  dari Permasalahan  yang terjadi diatas bisa terjawab  meskipun kita tidak mungkin  bisa  mengungkapkan mutawatir secara lebih  terperinci akan tetapi setidaknya  kita bisa mengetahui ma’na tersebut dari susuna kalimatnya, bahwa lafad Allah itu mereka telah  menetapakannya sebagai Tuhan yang wajib  disembah, jika kita memang  tidak mengetahui secara pasti penamaan lafad itu tentang disembahnya, maha kuasa untuk  menciptakan,tempat berlindung  untuk ciptaanya, atau bagaimana akal bisa  menemukan arti yang diinginkan dari lafad tersebut, begitu juga  berkaitan dengan  lafad-lafad yang lainnya.
            Kesulitan yang kedua ialah  bahwa sarat  dari mutawatir itu haruslah  sama antara dua ujung dengan yang lainnya, kemudian sesudah itu kita mengetahui sarat mutawatir dipakai  dalam menjaga bahasa,maupun  ilmu nahwu,dan juga  tasrif pada jaman  kita, maka untuk itulah bagaimana kita mengetahuinya dimasa-masa  yang akan datang? Jika kita tidak  mengetahui sarat mutawatir itu maka kita tidak akan tahu juga  mutawatir itu secara pasti karena jika kita  tidak tahu sarat maka tidak akan tahu  pula apa yang ditunjukannya dari sarat itu, untuk mengatasinya hal itu maka ada dua cara:
Pertama orang  yang menyaksikan hendaklah mereka memberitahuan mengenai   hal itu, dan yang mengabarkan bahasa ini harus mempunyai sifat sebagai sarat yang sudah disetujui mengenai mutawatir itu, begitu juga yang  pada saat menyampaikan  kepada mereka haruslah  bersambung dengan masa Rasulullah, selain itu juga meskipun lapad-lapad ini tidak dipakai sebagai pokok pembahasan akan tetapi jikalau  pemakainnya  untuk mema’nai pastilah akan menjadi  lebih dikenal dan hal itu bisa  terjadi merupakan dedikasi dan motif dari pengambilannya.
Maka kita beranggapan  bahwasannya  yang pertama kurang tepat karena memang  yang mendengar bahasa itu tidak mendengar secara  langsung dari orang yang mutawatir akan tetapi ini sudah keluar dari maksud jika ditinjau  dari sisi tidak bisa dipahami oleh para ahli pujangga, bagaimana mungkin mereka mampu memahaminya dengan mudah karena tujuan akhir dalam membublikasikan bahasa itu ialah menyandarkan  pada buku yang memnag  falid atau pada periwayatan  yang kredibel walaupun  itu tidak akan memberikan keyakinan.
Yang kedua termasuk bagian  kelemahan juga karena kepopuleran itu mesti  merupakan suatu perkara yang besar dan ini tidak termasuk kategori.kita merasa bebas dari itu namun  tidak akan merasa senang karena tidak akan  jadi populer karena memang telah terkenal, bahkan hendaklah yang menyampaikan mutawatir itu berbicara  bahwa bahasa-bahasa ini diambil dari kumpulan-kumpulan  yang istimewa, seperti Khalil, Abi Ame Alasmaie, diputuskan  bahwa mereka itu tidak terjaga juga tidak melampaui aturan mutawatir .(diambil dari kitab usulunahwi)to be cuntinue!

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Definisi Mutawatir dari Tinjauan Nahwu"

Posting Komentar

Lazada Malaysia